Tampilkan postingan dengan label Pan Islamisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pan Islamisme. Tampilkan semua postingan

Jumat, 30 Maret 2012

Demonstrasi dalam syari'at Islam

Ketika Umat Islam Harus Berdemonstrasi
Oleh: Muhammad Abduh Nasution
Pemerintah dan rakyat adalah syarat mutlak bagi kelangsungan suatu negara, keduanya harus berjalan serasi dan tidak boleh berjalan satu-satu. Rakyat membutuhkan pemimpin untuk menciptakan ketertiban, bila tidak ada pemimpin maka akan terjadi kekacauan dimana-mana, seperti yang pernah terjadi pada masa setelah revolusi Prancis, di sana tidak ada pemerintah yang berkuasa, hingga akhirnya Napoleon Bonaparte maju menjadi penguasa karena rakyat tidak tahan dengan instabilitas yang terjadi. Namun pemerintahan yang zalim juga akan menimbulkan dampak yang besar, seperti pemberontakan, kudeta, pemogokan, dan aksi dari rakyat lainnya, termasuk demonstrasi. Setiap negara membuat hukum untuk menserasikan rakyat dan pemerintah, dan agama Islam yang sesuai dengan fitrah manusia telah terlebih dahulu melakukannya. Menarik bila melihat bahwa demonstrasi adalah kajian modern, karena demonstrasi merupakan ciri masyarakat modern itu sendiri, sebab di era ini tidak dibenarkan adanya kekerasan dan pemberontakan bersenjata, harus menggunakan jalan tanpa kekerasan (ahimsa) sebagai manusia yang beradab.
Oleh karena itu pembahasan mengenai hal ini tidak akan pernah dijumpai pada kitab karya ulama salaf (mutaqaddimin), sehingga diantara para ulama ada yang mengharamkan demonstrasi karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islami, namun ada juga yang menghalalkannya sebagai jalan untuk menegakkan al-Haq (kebenaran) dan amar makruf.
Manfaat dan sebab demonstrasi.
Dari segi penggunaan bahasa, demonstrasi dapat digunakan untuk banyak hal, seperti contoh dalam bidang ilmiah, seseorang mendemonstrasikan penemuannya. Dalam lapangan ilmu politik, demonstrasi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh rakyat terhadap penguasa untuk menunjukkan ketidakpuasan dan ketidaksetujuan, karena pemerintah telah menyengsarakan rakyat. Maka demonstrasi bertujuan untuk menyampaikan aspirasi dan ketidakpuasan agar tuntutan tersebut dapat didengar dan dilaksanakan oleh pihak yang berwenang. Demonstrasi tidak hanya terjadi di negara berkembang saja, negara-negara maju juga mengalaminya dan tidak jarang juga berakhir dengan kerusuhan. Maka demonstrasi tidak menunjukkan tingkat kemiskinan, namun lebih kepada bagaimana protokoler yang ditetapkan suatu negara untuk membuat dinding pembatas antara seorang penguasa dengan rakyatnya, artinya bila dalam suatu negara suara seorang rakyat dapat didengar oleh penguasa tanpa harus melewati birokrasi yang rumit, tentu saja rakyat tidak akan menggelar demonstrasi sebagai solusi atas masalah mereka.
Nabi Muhammad SAW tidak membuat pemisah antara ia dan rakyatnya, akan tetapi beliau membuat aturan rumah tangga Rasul, sehingga tidak boleh seseorang itu memasuki rumah Nabi yang mulia pada sembarang waktu, karena itu tentu mengganggu urusan Nabi Muhammad SAW, demikian pula Istri beliau hanya diperkenankan untuk ditemui di balik hijab untuk menjaga kehormatannya. Sampai pada masa pemerintahan Khulafa` ar-Rasyidin, mereka tidak menetapkan protokoler antara rakyat dan mereka. Walaupun demikian pemerintah tidak mungkin menerima semua aspirasi semua rakyatnya, karena setiap pendapat belum tentu benar, apalagi kebenaran yang berasal dari rasio manusia bersifat relatif, disinilah hendaknya pemerintah perlu mendengarkan aspirasi para ahl az-zikri (QS. Al-Anbiya’ : 7), yakni para cendekiawan bijaksana yang fikirannya tidak diracuni oleh hawa nafsu duniawi, hal ini senada dengan penjelasan oleh Syaikh Muhammad Abduh dalam karyanya Tafsir Suroh al-‘Ashr.
Demonstrasi dan hukumnya dalam agama Islam
Para Ulama memandang masalah demonstrasi ini dari berbagai sisi, hingga akhirnya fatwa mereka tentang demonstrasi ini terbagi dua yang akan kami konfrontir dalam kesempatan ini, yaitu:
Pertama: Sebagian mereka mengharamkan demonstrasi, hal ini karena mereka mengambil dalil dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan bersanadkan dari Hisyam bin Urwah dari Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:”Setelah masaku kalian akan dipimpin oleh berbagai macam pemimpin. Pemimpin yang baik dan cakap akan memimpin dengan baik dan cakap pula. Sedangkan pemimpin yang buruk akan memimpin kalian dengan buruk dan jahat pula. Dengarkanlah dan taatilah mereka selama kebijakannya sejalan dengan kebenaran. Jika mereka memimpin dengan baik maka kalian akan mendapat ketentraman hidup dan mereka mendapat pahala. Namun jika mereka memimpin dengan buruk, kalian akan mendapatkan pahala (dengan kesabaran kalian) sementara mereka mendapat dosa”, hadits ini sering digunakan oleh kaum Salafi Yamani dalam menyikapi pemerintahan, karena mereka memang beranggapan bahwa setiap umat harus menaati pemerintah zalim sekalipun , padahal hadits ini sangatlah lemah menurut Imam al-Haitsami karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang lemah, yaitu Abdullah bin Muhammad bin Yahya bin Urwah . Sejalan dengan hal ini, Prof. Ali Mustafa Ya’qub mengatakan dalam sebuah diskusi bahwa dalam hadits seorang yang ingin mengingatkan penguasa hendaklah menemuinya di tempat sepi dan menyampaikan ketidaksetujuan secara diam-diam, akan tetapi tampaknya hal ini adalah hal yang sangat mustahil dilakukan pada zaman sekarang ini, sebab hadits ini bersifat kondisional dan hanya dapat digunakan pada pemerintahan zaman itu yang tidak menerapkan aturan protokoler yang menghalangi rakyat dari penguasa.
Demikian pula ada ulama yang mengambil dalil dari kisah: ketika ada seorang ulama menegur seorang penguasa yang zalim dengan teguran yang keras, lalu penguasa tersebut menjawab: “Bukankah engkau mengetahui Nabi Musa AS, apakah engkau lebih mulia daripadanya? Dan tentu engkau mengenal Fir’aun, adakah aku lebih zalim daripadanya? Ketahuilah, Nabi Musa menyampaikan dakwahnya kepada Fir’aun dengan cara yang lemah lembut”.
Pada zaman kepemimpinan alm.Gus Dur, sempat diwacanakan agar para ulama NU mengeluarkan fatwa bughat bagi orang yang berusaha untuk menjatuhkan Gus Dur dan mati syahid bagi siapa saja yang terbunuh dalam memerangi golongan bughat ini, karena orang yang menjatuhkan Gus Dur dianggap telah menghina dan melecehkan seorang ulama, namun hal ini tidak terjadi karena mendapat tentangan keras dari para Ulama lainnya yang bersih fikirannya dan jernih hatinya, dan sebenarnya golongan bughot ini kalau tertawan tetap diperlakukan sebagai seorang muslim dan haram darahnya.
Dalam konteks ini, para ulama juga mengambil dalil tentang wajibnya seorang mukmin mentaati Ulil Amri (QS. An-Nisa` : 59) sebagai pedoman bahwa demonstrasi itu dilarang dalam agama Islam, tetapi Abdul Wahab Khallaf menyatakan Ulil Amri yang dimaksud dala ayat tersebut adalah para Ulama, karena kaitan ayat tersebut adalah masalah agama, sedangkan Ulil Amri (pemegang urusan) dalam agama adalah para Ulama, dan ayat ini berbicara tentang sumber hukum Islam yang berasal dari Al-Qur an, Hadits, dan Ijma’.
Kedua: Namun sebagian Ulama yang memandang dari segi kemashlahatan dan kemanfaatan justru membolehkannya karena hal ini tidaklah sama dengan bughat. Apalagi Allah SWT melarang orang yang zalim menjadi pemimpin (QS.At-Taubah : 23) karena mereka adalah orang yang kafir dalam arti luas(QS. Al-An’am : 33), bahkan orang yang cenderung dan membela kezaliman akan dibakar di dalam neraka (QS. Hud : 113).
Hadits Nabi Muhammad SAW menyeru kita agar menyampaikan kebenaran walaupun pahit (qul al-haq wa lau kaana murron), bahkan menyatakan kebenaran kepada penguasa yang salah termasuk ke dalam jihad (afdhol al-jihad kalimatul haq ‘inda sulthanil jaair). Imam Muhammad al-Ghazali menyebutkan bahwa penyebab seorang penguasa dapat diberhentikan secara syari’at yaitu az-zhulm atau kesewenang-wenangan dan ghoiru syaukah, yaitu penguasa tidak mampu untuk menegakkan keadilan, seperti bila ia menderita penyakit kronis. Lebih lanjut beliau menganjurkan agar rakyat ketika menyatakan ketidak puasan terhadap penguasa hendaklah dengan jalan yang tidak menimbulkan pertumpahan darah.
Maka menghukumkan bughat kepada demonstran adalah hal yang kontradiktif, sebab bughat hanya dihukumkan bagi mereka yang menentang kepemimpinan Islami, sedangkan pemerintahan yang ada pada saat sekarang ini adalah hasil demokrasi sekuler yang sebetulnya demokrasi kuno dan telah ada sebelum kedatangan agama Islam, sebab ia memakai asas vox popule vox dei (suara terbanyak rakyat adalah suara tuhan) yang secara tidak langsung sebenarnya menegaskan siapa yang terkuat itulah yang menang, dan JJ Rousseau sendiri selaku penganut paham ini mengaku bahwa hukum alam adalah yang terbaik, karena menurutnya alam (rimba) itu masih bersih dari noda.
Jadi jelaslah bahwa demonstrasi bukanlah hal yang terlarang dalam agama Islam, walaupun para demonstran dan aktivis jangan sekali-kali melupakan akhlaq al-karimah dalam setiap tindakannya, karena kita diperintahkan untuk menyampaikan nasihat itu dengan cara yang baik dan dalam kesabaran (QS. Al-‘Ashr:3), sehingga dalam demonstrasi tetap harus mengedepankan sopan santun dan norma agama serta adat dan budaya, dan jangan melupakan khittah kita sebagai rahmatan lil ‘alamin, karena anarkisme dan terorisme tidak pernah diajarkan oleh agama Islam dan bukan budaya kita, tapi berasal dari Eropa dan digencarkan sewaktu paham komunis ingin mengembangkan kekuasaanya.
Oleh karena itu tidaklah benar kalau rakyat harus sabar, menerima kezaliman yang dilakukan oleh pemerintah, dan tidak menyampaikan aspirasinya kepada penguasa, padahal Islam datang untuk menghapuskan segala macam bentuk kezaliman di muka bumi ini, dan para Ulama sebagai pewaris para Nabi jangan mau dijadikan alat bagi pemerintah yang zalim untuk membela mereka dan didekati hanya untuk tujuan politis semata, namun sebaliknya hendaklah menjadi pelindung bagi ummat dari kezaliman yang dilakukan oleh penguasa.
Semoga seluruh rakyat Indonesia senantiasa berada dalam hidayah Allah, termasuk juga pemerintahnya supaya mereka mau mendengar aspirasi rakyat yang diwakili oleh suara ulama yang arif dan bijaksana agar negara ini menjadi baldah thayyibah wa rabb ghafur. Aamiin.
-Penulis adalah Dai Muda (Finalis PILDACIL 2 Lativi), dan siswa kelas XI MA Muallimin UNIVA Medan dan aktivis Manaroh al-Ilmi Sumut.

Jumat, 16 Desember 2011

Mengenal Syekh Muhammad Abduh Pan Islamisme dan Salafiyah

Muhammad Abduh adalah sosok ulama yang sangat terkenal sebagai pembaharu pemahaman beragama umat Islam. Beliau adalah seorang yang bermazhab Syafi'i. Beliau dilahirkan di kawasan Mesir Hilir (delta Mesir) tahun 1849 dan wafat di Kairo tahun 1905. Beliau berasal dari keluarga petani, ayahnya orang Turki dan ibunya orang Mesir. Beliau telah hafal Qur an di usia dini dan belajar ilmu-ilmu tasawuf. Beliau memasuki Al-Azhar tahun 1866, kemudian pada 1872 berjumpa dengan Jamaluddin al-Afghani. Mulailah terbuka suatu wawasan baru bagi beliau tentang kondisi umat yang dilanda kemunduran. Beliau bergerak sebagai aktivis Pan Islamisme, yakni untuk membangkitkan kembali kejayaan umat di masa salaf (dahulu). Beliau belajar ilmu-ilmu moderen, bekerja sebagai wartawan (1876), dan setelah tamat dari Al-Azhar (1877), mengajar di Dar al-Ulum. Kemudian beliau dibuang oleh pemerintahan Ali Pasya (1882) karena pemikiran beliau yang dianggap berbahaya bagi pemerintah, karena beliau memimpin redaksi harian pemerintah Al-Waqo'i Al-Mishriyah
(Sejarah ini akan kami lanjutkan)

Salah satu ide cemerlang beliau adalah gagasan tentang Pan Islamisme, yakni dengan membangkitkan kembali kejayaan umat Islam dimasa lalu dengan mempelajari ilmu-ilmu duniawi namun menjadikan ilmu agama sebagai landasan utamanya (yang pada zaman itu hal ini dianggap hal yang tabu, bahkan sampai-sampai beliau dianggap Sekuler/Liberal, padahal pada akhirnya ajaran beliau ini dipakai pada sebagian besar sekolah-sekolah Islam), dan juga menggagas persatuan umat atau i'tishomul Islam dengan menghilangkan taqlid buta yang memecah belah umat, serta menghilangkan bid'ah dan khurafat yang telah mengkikis ajaran agama Islam. Maka gagasan ini juga dinamai "salafiah", yakni dengan memegang teguh ajaran Nabi Muhammad SAW tanpa penyimpangan-penyimpangan. Namun karena hal ini dianggap aneh pada zamannya, tidak sedikit orang yang memfitnah beliau dengan mengatakannya sebagai seorang rasionalis/mu'tazilah, padahal dalam risalah tauhid, beliau adalah penganut Suni, dan beliau berkata tidak boleh mentakwilkan ayat Al-Quran menurut rasio akal saja. Tampaknya beliau juga terpengaruh dengan ajaran Ibnu Taimiyah dan gurunya tentang ijtihad, namun berbeda dengan Wahabi yang keras, ataupun orang-orang yang sekuler (yang mengatakan "buka ijtihadnya, buka jilbabnya").
Adapun salafi masa kini, telah bergeser dari tujuannya semula, yaitu tidak taqlid dan tidak memecah belah umat dan tidak dengan cara kekerasan. Hal ini mungkin karena Salafi itu telah disusupi oleh Wahabiah yang sangat berbeda. Mengenai Wahabi ini, didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, dan saudara kandung beliau sendiri tidak setuju dengan ajaran ini, itulah sebabnya tidak tepat menisbatkannya kepada Abdul Wahab. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab ini berasal dari wilayah Nejd, yang merupakan wilayah orang Arab badui. Tidak heran bila ditempat ini terdapat banyak bid'ah dan khurafat, namun orang Arab badui ini terkenal dengan sifatnya yang keras kepala, dan merupakan cikal bakal orang khawarij, itulah sebabnya, ada kemungkinan bahwa ajaran Wahabiyah ini telah disusupi oleh orang-orang khawarij, meskipun orang orang Wahabiyah tidak pernah mengkafirkan para sahabat.

Jadi gerakan salafi yang bersumber dari Ibnu Taimiyah dan gurunya ini terbelah dalam banyak kelompok, yang ekstrem ke barat menjadi sekuler, dan ekstrem anti barat menjadi sangat keras dan fanatik, salah satunya wahabiyah, meskipun pemerintahan Arab Saudi justru menjadi antek-antek barat itu sendiri. Salafisme Abduh adalah ajaran yang kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah, demikian pula dengan Jamaluddin al-Afghani yang bermazhab Hanafi. Sangat mengherankan bila ada salafi yang justru mengkafirkan ulama-ulama ini, dan malah menjadi pendukung utama musuh-musuh Allah (yang merupakan ciri-ciri khawarij)
Wallahu a'lam