Jumat, 30 Maret 2012

Mengenal Tipikal Pemimpin Berkarakter Fir'aun

Tipikal Fir'aun, Favorit Para Penguasa

Ustad Salafy Haroki
Oleh: Muhammad Abduh Nasution

Firman Allah dalam Al-Qur an suroh Al-Anfal ayat 52 & 54:
"(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan pengikut Fira'un dan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah, maka Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosanya. Sungguh Allah Mahakuat lagi sangat keras siksa-Nya."
"(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan pengikut Fir'aun dan orang-orang sebelum mereka. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya, maka kami membinasakan mereka disebabkan oleh dosa-dosanya dan kami tenggelamkan Fir'aun dan pengikutnya, karena mereka adalah orang-orang yang zalim"
Sejarah mencatat, bahwa sejak zaman dahulu kala, sampai zaman mutakhir ini di berbagai belahan dunia ini pernah berkuasa para pemimpin yang zolim, namun dalam setiap kesempatan mereka selalu berkoar-koar menyatakan bahwa kebijakan mereka adalah untuk mensejahterakan rakyat. Padahal nyatanya perkataan mereka itu malah sebaliknya, jauh panggang dari api, jangankan mensejahterakan rakyat, mendengar jeritan dan tangisan rakyat kecil yang sudah terpuruk di sudut-sudut kehidupan sajapun mereka tak mau, mereka punya telinga tapi tak dipakai untuk mendengar keluhan rakyat yang telah lama menahan kepedihan, mereka punya mata tapi tak dipakai untuk melihat kenyataan hidup yang pahit yang diderita sebagian besar rakyat kecil, mereka punya hati tapi tak digunakan untuk menaruh rasa kasihan kepada rakyat yang dizolimi oleh para oknum aparat penegak hukum yang bertindak sewenang-wenang, mereka diberi oleh Allah organ otak tapi tak dipakai untuk memikirkan hal-hal yang benar-benar dapat mensejahterakan rakyat sesuai dengan amanat konstitusi, dan hal ini semua terjadi adalah disebabkan karena mereka tidak mengikuti norma-norma yang ada, terutama mereka engkar terhadap norma atau aturan yang telah ditetapkan Allah Swt di dalam Al-Qur an. Di dalam Al-Qur an sendiri, Allah SWT telah banyak menceritakan bagaimana seharusnya memimpin dengan bijaksana, seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para nabi-nabi lainnya. Sebaliknya Al-Quran juga banyak menceritakan tingkah polah para pemimpin yang zalim, antara lain Fir'aun, yang memproklamasikan dirinya adalah tuhan, dan proklamasi Fir'aun itu adalah puncak kezaliman seorang pemimpin serta kekufuran seorang makhluk berakal terhadap keesaan Allah SWT.
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa kezaliman dan kekufuran Fir'aun itu sudah sangat melampaui batas, sehingga Iblis sendiri enggan bersahabat dengannya, bahkan Iblis marah atas kesombongan Fir'aun tersebut yang diucapkannya dengan kata-kata: "Hai Fir'aun, mulai hari ini putuslah tali persahabatan di antara kita, sebab ternyata engkau jauh lebih sombong dari aku, engkau telah berani menyaingi tuhan dengan memproklamasikan dirimu sebagai tuhan, padahal aku sendiri hanya karena tidak mau sujud kepada Adam, Allah telah murka kepadaku sehingga aku diusir dari sorganya Allah, bagaimana pula dengan engkau yang mengaku sebagai tuhan, menyaingi Allah Ta'ala?"
Ayat di atas ( QS. Al-Anfal : 52&54 ), adalah salah satu ayat yang wajib kita jadikan sebagai pelajaran, bahwa kita sebagai bangsa yang besar jangan sekali-kali mengabaikan peringatan Allah Swt dalam hal apapun. Ada pesan yang sangat penting yang dapat kita ambil dari ayat di atas, yaitu agar kita jangan pernah menjadikan para pemimpin kita menjadi pemimpin yang berkarakter seperti dalam ayat itu, karena pemimpin yang zalim itu adalah pemimpin yang bertipikal Fir'aun yang senantiasa mengkhianati rakyatnya.
Pemimpin bertipikal Fir'aun.
Tentu nama Fir'aun bukanlah kata yang baru bagi kita, Al-Qur an telah banyak menyebutkan nama Fir'aun, bahkan menurut kitab Le Koran Analyse, karya Edward Montet ( seorang orientalis berkebangsaan Prancis yang kemudian masuk Islam ), tingkah laku Fir'aun itu dibahas dalam Al-Qur an minimal terdapat pada 26 suroh dan 300 ayat. Fir'aun ( dalam bahasa-bahasa Eropa disebut Farao/Pharaoh, dan dalam bahasa Ibrani, disebut Per-O, berarti rumah besar ) adalah gelar bagi raja-raja di negeri Mesir kuno sejak sulalah ( dinasti; wangsa ) ke 18 sekitar tahun 1580 SM . Dalam bahasa Qibti ( Koptik adalah bangsa Mesir kuno, termasuk rumpun bahasa Hamit, seperti bahasa Ethiopia, Sudan, dan Berber ), Fir'aun berarti buaya. Ada banyak versi tentang cerita Fir’aun, tapi dalam kesempatan ini penulis hanya akan mengemukakan 3 versi saja yaitu :
1. Menurut hasil penelitian para ilmuan Barat, Fir’aun yang hidup dan memerintah pada zaman Nabi Musa As adalah Thutmose III, ia berkuasa sekitar tahun 1447 SM. Angka ini diperoleh dengan memulai perhitungan dari selesainya Nabi Sulaiman AS membangun istananya pada tahun 967 SM yaitu 480 tahun sesudah Bani Israil keluar dari Mesir, jadi kalau ditambahkan angka 967 dengan angka 480 maka hasilnya adalah 1447. Adapun kata Thutmose, secara kebetulan kalau dihilangkan Thut akan didapat Mose ( Musa ) yang dalam bahasa Mesir kuno berarti sesuatu yang diambil dari air. Dalam Perjanjian Lama, kitab Keluaran fasal 1 ayat 7 - 12 disebutkan bahwa cara yang dipakai oleh Fir'aun untuk mengurangi populasi Bani Israil yang semakin berkembang adalah dengan cara mengerahkan Bani Israil kerja paksa untuk membangun kota Pitom dan Raamsis. sehingga dengan kerja paksa itu Bani Israil banyak yang menemui ajalnya. Sedangkan kata Raamsis telah ditemukan pada kuburan Amenhotep III, sekitar 100 tahun sebelum Raamses II menjadi Fir’aun.
2. Syekh Dr. Ahmad Syarbasi dalam kitab Yas alunaka fid din wal hayah, menerangkan bahwa para ilmuan dari kalangan ahli kitab berbeda pendapat tentang siapa sebenarnya Fir’aun yang didakwahi oleh Nabi Musa As itu, sebagian dari mereka berpendapat bahwa dia bernama Qobul, dan sebagian lagi mengatakan namanya adalah Walid bin Musab bin Riyan, ia dan pengikutnya ( bangsa Mesir kuno ) berasal dari daerah Libya ( bangsa Berber ). Informasi mana yang benar diantara pendapat para ilmuan barat itu tentu masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
3. Tapi informasi yang paling shahih dan wajib diimani oleh setiap umat Islam adalah informasi yang disampaikan oleh Allah Swt dalam Al-Qur an suroh Yunus ayat 92, dimana diinformasikan bahwa jasad Fir'aun diselamatkan oleh Allah Swt untuk menjadi bukti dan supaya menjadi ibroh dan peringatan bagi seluruh umat manusia sampai akhir zaman. Berdasarkan fakta, mummi mayat Fir’aun yang disimpan di museum Kairo itu adalah Fir'aun yang pernah tenggelam di laut Merah dan mayatnya ditemukan di tepi pantai secara utuh, dan nama kecilnya adalah Menephthan, dia adalah pengganti Ramses/Ra'amsis II yang merupakan Fir’aun ke 4 pada dinasti ke 19.
Terlepas dari itu, ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari Fir'aun yang telah digambarkan secara jelas dalam Al-Qur an, dan yang dapat kami rangkum setidaknya ada 6 macam:
Pertama, Mesir adalah negeri yang sangat makmur, terutama karena negeri Mesir yang terletak di delta sungai Nil itu tanahnya sangat subur untuk pertanian, apalagi mereka juga mempunyai banyak ilmuan yang menjadi tenaga ahli dalam berbagai bidang. Mereka mempunyai kebudayaan yang tinggi, dan peradaban yang paling maju pada zamannya. Bahkan untuk pengawetan mayat yang masih utuh sampai sekarang, para ahli dizaman modern ini saja masih meneliti bagaimana teknologi yang digunakan pada masa itu. Mereka juga mampu membangun bangunan yang besar dan tinggi menjulang dengan nilai seni dan arsitektur yang menakjubkan. Tidak tertutup kemungkinan, mereka juga telah mampu merekayasa teknologi pertanian sehingga hasilnya melimpah ruah, tapi sayang justru dengan teknologinya yang tinggi dan swasembada pangannya itulah mereka menjadi sangat sombong bahkan kufur dan syirik pada Allah Swt, sehingga Allah Swt menimpakan azab kepada mereka, akan tapi ketika azab itu diturunkan Allah, ternyata mereka tidak mampu mengatasinya dengan bantuan ilmu dan teknologi yang disombongkannya itu (lihat QS. Al-A'raf: 131-133). Karena kemakmuran inilah Fir'aun menganggap dirinya adalah pemilik mutlak negeri Mesir beserta seluruh penduduknya, karena dengan teknologinya yang tinggi itu ia merasa mampu melakukan apa saja yang dikehendakinya. Akhirnya ia menyatakan bahwa ia tidak membutuhkan Tuhan lagi, karena ia mempunyai tanah yang sangat subur, dan teknologi pertanian yang tinggi, sehingga ia yakin tidak akan mati kelaparan (lihat QS. Az-Zukhruf: 51 dan An-Naziat: 24). Memang, terkadang ada orang yang terlalu memuja dan menyanjung kemampuan otaknya yang luar biasa, tapi ia lupa sama sekali siapa yang telah menciptakan otaknya itu.
Kedua, Peradaban Mesir yang begitu luar biasa dengan kemakmuran yang hebat, serta GNP (Gross National Product, Produk Domestik Bruto) dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan pada masa itu, sebenarnya adalah hal yang semu, karena kemakmuran itu hanya dinikmati Fir’aun dan kroninya saja, sedangkan Bani Israil yang tenaganya diperas habis-habisan oleh Fir'aun untuk membangun negeri Mesir, hanya dijadikan penonton saja, alias tidak pernah ikut menikmati kemakmuran itu walau sedikitpun. Pada masa itulah Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Musa AS untuk memimpin Bani Israil keluar dari Mesir, karena pemimpin Mesir telah mengkhianati kontrak politik yang telah dituangkan dalam konstitusi negara Mesir, dimana Bani Israil datang ke Mesir adalah sebagai tamu kehormatan yang diundang oleh Nabi Yusuf AS, sehingga hak dan kehormatan mereka harus dipenuhi, karena mereka adalah keturunan dari keluarga Nabi Yusuf A.S.
Ketiga, Fir'aun senantiasa mengelak dari ajakan dan nasihat Nabi Musa AS, malah sebaliknya ia menuduh Nabi Musa AS adalah pembohong, tukang sihir, berbuat subversive, dan lawan politik yang harus disingkirkan. Malah ia menantang Nabi Musa AS, padahal Nabi Musa AS diutus Allah bukan untuk memakzulkan, tapi mengingatkan Fir'aun, supaya berlaku adil, tidak zalim dan tidak kufur kepada Allah, sekali lagi bukan untuk memakzulkannya. Dalam QS Al-Qasas ayat 4 dan Gofir (Al-Mukmin) ayat 36-37 dijelaskan bagaimana Fir'aun membantah Nabi Musa AS, dan mendustakan adanya Allah, bahkan ia memerintahkan ilmuannya yang kesohor sebagai penjilat ulung, bernama Haman, untuk membangun menara yang tinggi, untuk digunakan Fir’aun melihat fisik Tuhannya Musa yaitu Allah SWT dari menara tinggi buatan Haman itu. Firaun sangat paranoid, ia tidak mau dikritik, bahkan segala macam kritikan diangggapnya berbahaya, ia takut kekuasaannya akan tumbang, sebagaimana dijelaskan dalam suroh Thaha ayat 57, dan Asy-Syuara ayat 35. Sebenarnya di dalam hatinya, ia percaya pada seruan keagamaan dari Nabi Musa AS itu, karena terbukti dalam QS. Yunus 90-91, Allah Swt menerangkan, bahwa Firaun mengakui Allah Swt adalah Tuhannya dan ia termasuk orang Islam, tapi terlambat, ia baru mengakui hal itu pada saat ia jatuh dari kekuasaannya, dan pada saat ia sedang sakarotul maut ditelan oleh ganasnya terpaan gelombang laut Merah. Na'uzu billah min zalik.
Keempat, Penegakan hukum pada zaman Firaun sangat tidak adil, hukum pada masa itu seperti pisau, tajam ke bawah, tumpul ke atas. Ketika Bani Isroil melakukan kesalahan meskipun kecil, langsung dihukum dengan hukuman yang berat, namun bila bangsa Qibti (Koptik) yang merupakan warga kelas satu berbuat kesalahan, apalagi kepada Bani Isroil, maka hukum sulit untuk ditegakkan. Sebagai salah satu contoh kasus yang diceritakan Allah dalam Q.S Al-Qasas ayat 15,18,19,20, adalah ketika Nabi Musa AS, dimana beliau kebetulan adalah seorang keturunan Bani Israil yang merupakan orang dalam istana, karena beliau adalah anak angkat Fir’aun, tapi sudah muak melihat ketimpangan hukum yang berlaku, membela seorang pemuda Bani Isroil yang sedang berkelahi dengan seorang pemuda Qibti, dan tanpa sengaja atau secara kebetulan saja orang Qibti itu tewas. Walaupun beliau menyesali kejadian itu dan minta ma’af, namun beliau langsung dipersalahkan sebagai seorang kriminal dan untuk menyelamatkan diri dari kekejaman aparat hukum, beliau terpaksa menghindar dan hijrah kenegeri Madyan, lalu disana beliau diperlindungkan Allah kepada Nabi Syu’aib AS. Beliau membela Bani Israil, karena selama ini bangsa Qibti akan selalu dibenarkan oleh hukum dan Bani Isroil akan selalu disalahkan. Fir'aun bisa sesuka hatinya menetapkan hukum kepada Bani Isroil, sehingga mereka selalu menjadi korban dari kezaliman Fir'aun, sebagaimana dijelaskan Allah Swt dalam QS. Yunus 85 : “ Bani Isroil berlindung kepada Allah dari kekejaman Fir'aun yang menjadikan mereka sebagai sasaran fitnah kezalimannya “.
Kelima, Fir'aun selalu melakukan kebohongan, dia mengaku bahwa dialah sang pencipta yang telah menciptakan Mesir, menurunkan kemakmuran dan kesejahteraan di Mesir. Hal ini diceritakan Allah dalam QS As-Zukhruf 51 : “ Fir'aun menyatakan bahwa sungai mengalir di bawah kakinya “. Secara tidak langsung ia menyatakan bahwa dialah yang menciptakan bumi Mesir, lalu menjadikannya negeri yang makmur, Fir'aun mengaku pula sebagai tuhan yang paling tinggi (tuhan yang paling berkuasa), padahal ia hanyalah manusia biasa yang tidak akan mampu berbuat apa-apa di luar kemampuan manusia biasa, ia tidak akan kuasa menerbitkan matahari dari barat, atau mengembalikan waktu kemasa silam (dalam istilah biologinya irreversible, yaitu menjadikan orang tua yang telah renta kembali menjadi anak bayi, atau pohon menjadi biji), dan hal lain yang mustahil dilakukan oleh manusia. Dia juga tidak akan hidup kekal dan abadi, bahkan ternyata dia mati dalam keadaan terhina, ditenggelamkan Allah di Laut Merah (lihat QS. Yunus :92). Jadi bagai mana mungkin dia akan sanggup menciptakan bumi Mesir dan menurunkan kemakmuran. Padahal semua rakyat Mesir tahu bahwa di balik kemakmuran itu Bani Israil lah yang habis tenaganya diperas oleh Fir'aun, jadi kemakmuran itu dicapai bukan dengan cara yang wajar, tapi memakai cara-cara yang licik dan kejam, dan pada akhirnya kemakmuran itupun hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, yaitu kroni dan para penjilat yang berada disekitar Fir’aun. Tapi walaupun begitu, Fir'aun tetap merasa yang paling benar, karena dia merasa yang paling berkuasa, ia merasa apapun perkataannya adalah benar, sebagaimana yang dapat kita lihat dalam Al-Qur an Suroh Gofir (Al-Mukmin) ayat 29.
Keenam, Al-Qur an Suroh Al-A’raf ayat 27 menerangkan bahwa dalam mengambil keputusan, Fir'aun selalu dipengaruhi oleh orang disekelilingnya, bahkan merekalah yang berperan memberi masukan kepada Fir’aun untuk mencemooh Nabi Musa AS. Meskipun Fir'aun adalah orang yang zalim, tapi ia menjadi lebih zalim lagi setelah mendapat dukungan, bisikan dan legitimasi dari orang di sekelilingnya, padahal karena dia adalah pimpinan yang mempunyai hak prerogatif untuk mengambil sesuatu keputusan, maka semestinya kezaliman itu tidak akan terjadi bila tidak ada hasrat yang sama dari dirinya. Dalam catatan sejarah, beberapa pemimpin menjadi zalim, seperti kaisar Nero pada zaman Romawi kuno, pada awalnya ia adalah orang yang humanis, dia pernah melarang olahraga Gladiator karena itu tidak manusiawi, namun karena ia dikelilingi oleh pembisik yang korup dan bejat, dia akhirnya menjadi pemimpin yang zalim, ia membakar kota Roma agar dia bisa membangun istana yang baru, bahkan untuk melanggengkan kekuasaannya, dia membunuh ayah dan ibunya sendiri. Oleh karena itu, pemimpin yang baik harus mempunyai prinsip yang baik pula sehingga ia tidak akan goyah ketika ia dipengaruhi oleh keadaan di sekelilingnya.
Mudah - mudahan 6 perkara ini tidak akan pernah terjadi di Negara kita, agar Negara kita menjadi baldah thoyyibah wa Robb ghofur, dan jangan malah menjadi negeri Fir'aun. Aamiiin ya Robbal 'alamin. Wallahu a'lam.
-Penulis adalah Dai Muda (Finalis PILDACIL 2 Lativi), siswa kelas XII MA Muallimin UNIVA Medan, dan aktivis Manaroh al-Ilmi Sumut.
  

Demonstrasi dalam syari'at Islam

Ketika Umat Islam Harus Berdemonstrasi
Oleh: Muhammad Abduh Nasution
Pemerintah dan rakyat adalah syarat mutlak bagi kelangsungan suatu negara, keduanya harus berjalan serasi dan tidak boleh berjalan satu-satu. Rakyat membutuhkan pemimpin untuk menciptakan ketertiban, bila tidak ada pemimpin maka akan terjadi kekacauan dimana-mana, seperti yang pernah terjadi pada masa setelah revolusi Prancis, di sana tidak ada pemerintah yang berkuasa, hingga akhirnya Napoleon Bonaparte maju menjadi penguasa karena rakyat tidak tahan dengan instabilitas yang terjadi. Namun pemerintahan yang zalim juga akan menimbulkan dampak yang besar, seperti pemberontakan, kudeta, pemogokan, dan aksi dari rakyat lainnya, termasuk demonstrasi. Setiap negara membuat hukum untuk menserasikan rakyat dan pemerintah, dan agama Islam yang sesuai dengan fitrah manusia telah terlebih dahulu melakukannya. Menarik bila melihat bahwa demonstrasi adalah kajian modern, karena demonstrasi merupakan ciri masyarakat modern itu sendiri, sebab di era ini tidak dibenarkan adanya kekerasan dan pemberontakan bersenjata, harus menggunakan jalan tanpa kekerasan (ahimsa) sebagai manusia yang beradab.
Oleh karena itu pembahasan mengenai hal ini tidak akan pernah dijumpai pada kitab karya ulama salaf (mutaqaddimin), sehingga diantara para ulama ada yang mengharamkan demonstrasi karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islami, namun ada juga yang menghalalkannya sebagai jalan untuk menegakkan al-Haq (kebenaran) dan amar makruf.
Manfaat dan sebab demonstrasi.
Dari segi penggunaan bahasa, demonstrasi dapat digunakan untuk banyak hal, seperti contoh dalam bidang ilmiah, seseorang mendemonstrasikan penemuannya. Dalam lapangan ilmu politik, demonstrasi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh rakyat terhadap penguasa untuk menunjukkan ketidakpuasan dan ketidaksetujuan, karena pemerintah telah menyengsarakan rakyat. Maka demonstrasi bertujuan untuk menyampaikan aspirasi dan ketidakpuasan agar tuntutan tersebut dapat didengar dan dilaksanakan oleh pihak yang berwenang. Demonstrasi tidak hanya terjadi di negara berkembang saja, negara-negara maju juga mengalaminya dan tidak jarang juga berakhir dengan kerusuhan. Maka demonstrasi tidak menunjukkan tingkat kemiskinan, namun lebih kepada bagaimana protokoler yang ditetapkan suatu negara untuk membuat dinding pembatas antara seorang penguasa dengan rakyatnya, artinya bila dalam suatu negara suara seorang rakyat dapat didengar oleh penguasa tanpa harus melewati birokrasi yang rumit, tentu saja rakyat tidak akan menggelar demonstrasi sebagai solusi atas masalah mereka.
Nabi Muhammad SAW tidak membuat pemisah antara ia dan rakyatnya, akan tetapi beliau membuat aturan rumah tangga Rasul, sehingga tidak boleh seseorang itu memasuki rumah Nabi yang mulia pada sembarang waktu, karena itu tentu mengganggu urusan Nabi Muhammad SAW, demikian pula Istri beliau hanya diperkenankan untuk ditemui di balik hijab untuk menjaga kehormatannya. Sampai pada masa pemerintahan Khulafa` ar-Rasyidin, mereka tidak menetapkan protokoler antara rakyat dan mereka. Walaupun demikian pemerintah tidak mungkin menerima semua aspirasi semua rakyatnya, karena setiap pendapat belum tentu benar, apalagi kebenaran yang berasal dari rasio manusia bersifat relatif, disinilah hendaknya pemerintah perlu mendengarkan aspirasi para ahl az-zikri (QS. Al-Anbiya’ : 7), yakni para cendekiawan bijaksana yang fikirannya tidak diracuni oleh hawa nafsu duniawi, hal ini senada dengan penjelasan oleh Syaikh Muhammad Abduh dalam karyanya Tafsir Suroh al-‘Ashr.
Demonstrasi dan hukumnya dalam agama Islam
Para Ulama memandang masalah demonstrasi ini dari berbagai sisi, hingga akhirnya fatwa mereka tentang demonstrasi ini terbagi dua yang akan kami konfrontir dalam kesempatan ini, yaitu:
Pertama: Sebagian mereka mengharamkan demonstrasi, hal ini karena mereka mengambil dalil dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan bersanadkan dari Hisyam bin Urwah dari Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:”Setelah masaku kalian akan dipimpin oleh berbagai macam pemimpin. Pemimpin yang baik dan cakap akan memimpin dengan baik dan cakap pula. Sedangkan pemimpin yang buruk akan memimpin kalian dengan buruk dan jahat pula. Dengarkanlah dan taatilah mereka selama kebijakannya sejalan dengan kebenaran. Jika mereka memimpin dengan baik maka kalian akan mendapat ketentraman hidup dan mereka mendapat pahala. Namun jika mereka memimpin dengan buruk, kalian akan mendapatkan pahala (dengan kesabaran kalian) sementara mereka mendapat dosa”, hadits ini sering digunakan oleh kaum Salafi Yamani dalam menyikapi pemerintahan, karena mereka memang beranggapan bahwa setiap umat harus menaati pemerintah zalim sekalipun , padahal hadits ini sangatlah lemah menurut Imam al-Haitsami karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang lemah, yaitu Abdullah bin Muhammad bin Yahya bin Urwah . Sejalan dengan hal ini, Prof. Ali Mustafa Ya’qub mengatakan dalam sebuah diskusi bahwa dalam hadits seorang yang ingin mengingatkan penguasa hendaklah menemuinya di tempat sepi dan menyampaikan ketidaksetujuan secara diam-diam, akan tetapi tampaknya hal ini adalah hal yang sangat mustahil dilakukan pada zaman sekarang ini, sebab hadits ini bersifat kondisional dan hanya dapat digunakan pada pemerintahan zaman itu yang tidak menerapkan aturan protokoler yang menghalangi rakyat dari penguasa.
Demikian pula ada ulama yang mengambil dalil dari kisah: ketika ada seorang ulama menegur seorang penguasa yang zalim dengan teguran yang keras, lalu penguasa tersebut menjawab: “Bukankah engkau mengetahui Nabi Musa AS, apakah engkau lebih mulia daripadanya? Dan tentu engkau mengenal Fir’aun, adakah aku lebih zalim daripadanya? Ketahuilah, Nabi Musa menyampaikan dakwahnya kepada Fir’aun dengan cara yang lemah lembut”.
Pada zaman kepemimpinan alm.Gus Dur, sempat diwacanakan agar para ulama NU mengeluarkan fatwa bughat bagi orang yang berusaha untuk menjatuhkan Gus Dur dan mati syahid bagi siapa saja yang terbunuh dalam memerangi golongan bughat ini, karena orang yang menjatuhkan Gus Dur dianggap telah menghina dan melecehkan seorang ulama, namun hal ini tidak terjadi karena mendapat tentangan keras dari para Ulama lainnya yang bersih fikirannya dan jernih hatinya, dan sebenarnya golongan bughot ini kalau tertawan tetap diperlakukan sebagai seorang muslim dan haram darahnya.
Dalam konteks ini, para ulama juga mengambil dalil tentang wajibnya seorang mukmin mentaati Ulil Amri (QS. An-Nisa` : 59) sebagai pedoman bahwa demonstrasi itu dilarang dalam agama Islam, tetapi Abdul Wahab Khallaf menyatakan Ulil Amri yang dimaksud dala ayat tersebut adalah para Ulama, karena kaitan ayat tersebut adalah masalah agama, sedangkan Ulil Amri (pemegang urusan) dalam agama adalah para Ulama, dan ayat ini berbicara tentang sumber hukum Islam yang berasal dari Al-Qur an, Hadits, dan Ijma’.
Kedua: Namun sebagian Ulama yang memandang dari segi kemashlahatan dan kemanfaatan justru membolehkannya karena hal ini tidaklah sama dengan bughat. Apalagi Allah SWT melarang orang yang zalim menjadi pemimpin (QS.At-Taubah : 23) karena mereka adalah orang yang kafir dalam arti luas(QS. Al-An’am : 33), bahkan orang yang cenderung dan membela kezaliman akan dibakar di dalam neraka (QS. Hud : 113).
Hadits Nabi Muhammad SAW menyeru kita agar menyampaikan kebenaran walaupun pahit (qul al-haq wa lau kaana murron), bahkan menyatakan kebenaran kepada penguasa yang salah termasuk ke dalam jihad (afdhol al-jihad kalimatul haq ‘inda sulthanil jaair). Imam Muhammad al-Ghazali menyebutkan bahwa penyebab seorang penguasa dapat diberhentikan secara syari’at yaitu az-zhulm atau kesewenang-wenangan dan ghoiru syaukah, yaitu penguasa tidak mampu untuk menegakkan keadilan, seperti bila ia menderita penyakit kronis. Lebih lanjut beliau menganjurkan agar rakyat ketika menyatakan ketidak puasan terhadap penguasa hendaklah dengan jalan yang tidak menimbulkan pertumpahan darah.
Maka menghukumkan bughat kepada demonstran adalah hal yang kontradiktif, sebab bughat hanya dihukumkan bagi mereka yang menentang kepemimpinan Islami, sedangkan pemerintahan yang ada pada saat sekarang ini adalah hasil demokrasi sekuler yang sebetulnya demokrasi kuno dan telah ada sebelum kedatangan agama Islam, sebab ia memakai asas vox popule vox dei (suara terbanyak rakyat adalah suara tuhan) yang secara tidak langsung sebenarnya menegaskan siapa yang terkuat itulah yang menang, dan JJ Rousseau sendiri selaku penganut paham ini mengaku bahwa hukum alam adalah yang terbaik, karena menurutnya alam (rimba) itu masih bersih dari noda.
Jadi jelaslah bahwa demonstrasi bukanlah hal yang terlarang dalam agama Islam, walaupun para demonstran dan aktivis jangan sekali-kali melupakan akhlaq al-karimah dalam setiap tindakannya, karena kita diperintahkan untuk menyampaikan nasihat itu dengan cara yang baik dan dalam kesabaran (QS. Al-‘Ashr:3), sehingga dalam demonstrasi tetap harus mengedepankan sopan santun dan norma agama serta adat dan budaya, dan jangan melupakan khittah kita sebagai rahmatan lil ‘alamin, karena anarkisme dan terorisme tidak pernah diajarkan oleh agama Islam dan bukan budaya kita, tapi berasal dari Eropa dan digencarkan sewaktu paham komunis ingin mengembangkan kekuasaanya.
Oleh karena itu tidaklah benar kalau rakyat harus sabar, menerima kezaliman yang dilakukan oleh pemerintah, dan tidak menyampaikan aspirasinya kepada penguasa, padahal Islam datang untuk menghapuskan segala macam bentuk kezaliman di muka bumi ini, dan para Ulama sebagai pewaris para Nabi jangan mau dijadikan alat bagi pemerintah yang zalim untuk membela mereka dan didekati hanya untuk tujuan politis semata, namun sebaliknya hendaklah menjadi pelindung bagi ummat dari kezaliman yang dilakukan oleh penguasa.
Semoga seluruh rakyat Indonesia senantiasa berada dalam hidayah Allah, termasuk juga pemerintahnya supaya mereka mau mendengar aspirasi rakyat yang diwakili oleh suara ulama yang arif dan bijaksana agar negara ini menjadi baldah thayyibah wa rabb ghafur. Aamiin.
-Penulis adalah Dai Muda (Finalis PILDACIL 2 Lativi), dan siswa kelas XI MA Muallimin UNIVA Medan dan aktivis Manaroh al-Ilmi Sumut.

Sabtu, 17 Maret 2012

Essai Solv : Jalanan


Jalanan bukanlah suatu hal yang terkesan baik-baik, sering dianggap sebagai tempat yang keras, sangar, dan berbahaya. Tapi ia adalah kebutuhan utama dalam hidup ini.
Sejak zaman Nabi Adam manusia ditaqdirkan untuk menjadi makhluq yang tidak dapat diam di tempatnya. Bila hendak mencapai suatu kegemilangan, ia harus menempuh perjalanan. Tapi adalah suatu hal yang musykil, sebab arah adalah hal utama dalam mencapai tujuan.
Banyak jalan ke Roma, artinya banyak jalan dan cara yang diciptakan tuhan bagi manusia agar mencapai tujuan. Ada yang dihalalkannya, dan ada yang diharamkannya. Arah dan Tujuan saling melengkapi.

Senin, 12 Maret 2012

Essai Solv : Bahasa Ibu

Bahasa Ibu
oleh: Muallim Rasyidi
mothers love
  1. ARTefak
Bangsa China mengungkapkan kasih sayang dalam aksaranya yaitu seperti seorang Ibu yang sedang menyusui anaknya. Hal ini tentu lebih filosofis ketimbang bangsa Barat yang menggambarkannya dengan bentuk jantung. Tentu hal ini karena Ibu sering dilambangkan sebagai perwujudan kedamaian dan kasih sayang. Meskipun bangsa Arab mengambil nasab dari pihak ayah sebagai sebuah lambang prestise, namun hubungan kekeluargaan dari pihak ibu akan melunakkan hati mereka. Suku Batak meski mereka mengambil dari pihak ayah, tapi mereka sangat menghormati keluarga dari pihak Ibu. Sebaliknya suku Minang langsung mengambil nasab dari pihak ibu agar tidak terjadi perselisihan. Bangsa Melayu menggunakan kata Ibu untuk istilah yang mengayomi, seperti ibu jari, ibu negeri, dan ibu pertiwi

  • 2. ARTefak
  • Agama Islam memuliakan seorang Ibu sedemikian rupa, bahkan dalam sebuah hadits Nabi yang mulia itu mengulang sampai 3 kali untuk menghormati seorang Ibu. Kenyataannya, setiap anak yang lahir pasti pertama kali ia akan menggunakan bahasa ibunya, karena figur sang Ibu adalah yang pertama sekali mengenalkannya kehidupan di dunia ini sekaligus sebagai body guard sukarelawan karena ketulusan dan kasih sayangnya.
    Bedakan, ketika ada orang mengistilahkan perwiritan kaum Ibu terasa lebih damai daripada perwiritan kaum Perempuan, maka serta merta orang akan teringat bagaimana jasa seorang Ibu yang demikian besarnya.
    Di balik orang-orang terkemuka yang dapat menjadi penyelamat umat manusia, tentu ada sosok Ibu. Sosok mereka memang undeground, tidak terlalu menjadi sorotan, karena memang sosok Ibu yang begitulah yang tepat, bukan seorang yang menonjolkan kekuasaan, layaknya sosok Ibu Negara yang mirip Ibu Tiri.


  • 3. ARTefak
  • Maka rasanya tidak adil bila kita hanya memperingati satu hari saja untuk mengenang hari Ibu, sebab jasanya yang tidak terhingga itu terus kita rasakan setiap harinya. Maka hari ini adalah hari Ibuku........
    Medan, 12 Mar 2012

    Sabtu, 10 Maret 2012

    Essai Solv

    Bahtera Raksasa
    oleh: Muallim Rasyidi
    kapal
    Negeri ini memang sangat kaya, bayangkan, untuk menyebutkan alat transportasi air saja, banyak sekali kata yang dapat digunakan, entah itu kapal, bahtera, sampan, boat, rakit, getek, ketingan, dan banyak lagi istilah lainnya, tapi sayangnya kita sering terombang-ambing dalam memakai bahasa "perjuangan" ini, hingga kita merasa hebat bila meninggalkan bahasa yang dianggap kampungan ini
    Negeri ini layaknya bahtera raksasa, begitu besar, dihuni oleh banyak orang kaya dan orang pintar, hanya berlayar di air tenang, dan tujuannyapun tidak begitu jauh, tapi kapal ini tidak pernah sampai ke tanah harapan.
    Kapal ini dinahkodai oleh seorang yang pemberani, tapi ia terlalu hati-hati, karena takut akan jabatannya akan diturunkan oleh pemilik modal kapal itu. Para pemilik modal bebas berbuat sesuka hatinya, bila mereka ingin menenggelamkan kapal itu, tidak ada yang bisa mencegah, karena mereka masih memiliki sekoci bila kapal ini tenggelam nantinya. Sedangkan para ahli dan pakar hanya sibuk berdebat akan kemana tujuan kapal ini.
    Kapal ini bukan tidak memiliki penumpang lain, dan anehnya penumpang gelap sering dianggap mulia, sementara penumpang asli yang nenek moyangnya ikut membangun kapal ini sering dianggap sebagai tamu. Mereka ditempatkan di dek yang paling bawah. Apakah mereka tidak melawan kepada kezaliman orang elit itu? Tidak, mereka itu gampang diatur. Tinggal diberi sedikit obat penenang berupa hiburan picisan, mereka akan tertidur pulas. Sebagian kecil yang mencoba bersuara akhirnya kelelahan dan tertidur juga.
    Maka Kapal ini tidak akan pernah sampai kemanapun dan hanya akan sampai ke dasar lautan dan nasib baik bila namanya masih dicatat sejarah.
    Allahu A'lam
    Pel. Timur Sumut, 10 Mar 2011